PEMIKIRAN BARAT
TENTANG TUHAN
Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep
yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun
batiniah, baik yang melalui penelitian rasional maupun pengalaman batin. Teori
ketuhanan dalam pemikiran barat bermula dari teori evolusionisme, yaitu teori
yang menyatakan bahwa adanya proses dari kepercayaan yang sangat sederhana,
kemudian meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens. Menurut
teori evolusionisme konsep ketuhanan berasal dari kepercayaan berikut[1]:
a. Dinamisme
Menurut pemahaman dinamisme,
manusia sejak zaman primitif telah meyakini adanya kekuatan yang berpengaruh
dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh
positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut
dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan
syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau
diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.
b. Animisme
Selain kepercayaan dinamisme,
masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda
baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu
yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta
mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh
tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Semakin lama kepercayaan
dinamisme dan animisme mulai dirasa tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain
kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme pun akhirnya tidak memberikan
kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa
yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang
sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan,
namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah)
bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme
(Tuhan tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan
dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya
mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk
monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu:
deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang
(1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia
mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya
dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung
dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan
kepada wujud yang lain.