Renaissance Vis A Vis Tradisi Lama Eropa
(Kristen Eropa, Dominasi Gereja dan Renaissance)

Oleh : Juliar Nasution


Munculnya gerakan Renaissance tidak lepas dari sebab dominasi Gereja yang sangat kuat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Eropa termasuk dalam hal pemerintahan. Kekuasaan Gereja yang terlalu berlebihan mengakibatkan timbulnya kesewenang-wenangan pihak Gereja terhadap masyarakat Eropa. Ilmu pengetahuan dibatasi, bahkan tidak lepas dari doktrin Gereja, bahkan banyak para ilmuwan yang berakhir dengan mengenaskan. Selain itu masih banyak lagi penindasan yang dilakukan oleh Gereja dengan mengatasnamakan Tuhan, yang kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya suatu gerakan yang kemudian dikenal sebagai Renaissance (kelahiran kembali).
Membicarakan mengenai dominasi Gereja dan munculnya Renaissance, tidaklah lepas dari pembahasan mengenai kondisi Eropa pada masa abad pertengahan Eropa. Masa pertengahan sejarah Eropa dimulai dari abad ke-5 M hingga abad ke-15 M seiring dengan lahirnya era baru dalam sejarah Eropa yang disebut masa Renaissance. Permulaan dan akhir masa itu ditandai dengan terbaginya dan berakhirnya kekaisaran Romawi Suci. Pada masa itu, para kaisar harus patuh dan taat pada perintah agama, khususnya Paus sebagai wakil Tuhan di dunia, serta harus membangun Gereja sebagai tempat berkembangnya agama Kristen[1].
Kristen tersebar luas di Eropa sejak tahun 180 M, seiring dengan kemunduran kekaisaran Romawi[2]. Agama kristiani hadir dengan menawarkan kedamaian dan ketenangan jiwa, sehingga Gereja menjadi tempat perlindungan rakyat dari berbagai permasalahan yang muncul dari dalam seperti peperangan dan kemiskinan[3]. Perkembangan dan penyebaran agama Kristen tersebut menjadi sebuah permasalahan politik, hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Romawi adalah kaum Pagan. Maka tidak heran apabila terjadi penganiayaan terhadap umat Kristiani saat itu. Bahkan Kaisar Valerianus mengeluarkan keputusan (edic) untuk menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang tetap setia pada agama Kristen. Namun, keputusan ini justru membuat semakin banyak orang yang memeluk agama Kristen[4]. Puncak penganiayaan dan penindasan terhadap umat Kristen terjadi pada masa Kaisar Diocletianus dan penggantinya, Kaisar Galerius. Pada masa Galerius (303 – 311 M), ia memerintahkan untuk menyita kekayaan Gereja, membakar Alkitab (Perjanjian Lama dan Baru), menghancurkan Gereja, dan menangkap serta membunuh para pengikut Gereja[5].
Pada masa Kaisar Konstantin Agung agama Kristen mulai mendapatkan tempat. Dialah yang mengeluarkan Edic Milano pada 313 M, untuk memberikan kebebasan penuh pada Kristen dan Gereja, bahkan pada masa Theodosius, agama Kristen dijadikan sebagai agama resmi negara. Sehingga agama Kristen mendapat dukungan penuh dari negara[6].
Abad pertengahan disebut juga dengan abad Iman. Istilah ini menggambarkan abad pertengahan dengan kebangkitan agama (Kristen) secara besar-besaran di wilayah Eropa Barat khususnya. Agama Kristen berkembang secara cepat dan memengaruhi seluruh dimensi kehidupan manusia baik yang bersifat privat maupun publik seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Seluruh kehidupan manusia harus sesuai dengan dogma agama, taat dan beriman secara tulus pada Tuhan serta kehidupan yang duniawi harus berubah berorientasi kepada Tuhan[7].
Pada zaman pertengahan kehidupan Eropa memilki ciri-ciri sebagai berikut[8] :
a.    Setelah abad ke-7 dan ke-8 dengan perkembangan kekuatan Islam yang berhasil menguasai seluruh daerah pantai Timur Laut Tengah, Afrika Utara dan jazirah Iberia (Spanyol), hubungan perdagangan antara Eropa (Dunia Nasrani) dan negara-negara Timur di kawasan Timur Tengah menjadi terputus. Setelah itu masyarakat Eropa merubah pokok kehidupannya dari usaha maritim menjadi pertaniaan (agraris).
b.    Masyarakat Eropa yang agraris sejak pertengahan abad ke-8 dengan dipelopori oleh Karel Martel dari kerajaan Franca, berkembang feodalisme. Aturan-aturan feodal tersebut antara lain adalah:
1)      Dalam kehidupan politik, adalah pemerintahan yang terpusat pada kekuasaan golongan bangsawan tuan tanah sebagai raja-raja vazal.
2)      Dalam kehidupan ekonomi, yaitu corak ekonomi agraris yang dikuasai oleh bangsawan tuan tanah dengan kewajiban membayar upeti kepada raja.
3)      Tata kehidupan sosial dan kebudayaan, yaitu corak kehidupan yang istana sentris, yaitu segala gerak kehidupan dan budaya diabdikan untuk keagungan dan kemegahan istana.
c.    Kekuatan Gereja yang dominan, doktrin Gereja merupakan kebenaran yang tertinggi. Pada abad pertengahan agama menjadi satu-satunya pegangan hidup manusia. Sehingga ilmu agama dan ilmu filsafat agama (Theologia) merupakan satu-satunya ilmu, sedangkan ilmu-ilmu lainnya hanya merupakan pelengkap belaka. Dalam abad pertengahan tidak ada kebebasan pribadi manusia untuk berfikir dan mencipta sendiri. Segalanya telah di atur dan ditentukan oleh doktrin-doktrin Gereja.
Zaman kegelapan dimulai sejak runtuhnya imperium Romawi pada 476 M hingga dinobatkannya Charlemagne sebagai Kaisar Imperium Romawi Suci (the holy Roman empire) pada 800 M. Era ini disebut sebagai “zaman kegelapan,” karena institusi-institusi publik yang sebelumnya berjalan baik, hancur; sistem politik digantikan oleh para penguasa perang (war lords) dari kaum barbar. Gereja berkuasa semena-mena, mengawasi dan menyiksa siapa saja yang dianggap sesat[9]. Kekuasan Gereja pada waktu itu mendominasi segala aspek kehidupan. Hal ini nampak sekali dengan dinobatkannya gelar para Kaisar dan Raja-raja oleh Paus. Pada saat itu merupakan masa penyebaran agama Katholik Roma dan zaman pemantapan Sri Paus sebagai kepala Gereja di Roma. Pada setiap kerajaan di Eropa, Sri Paus dengan diwakili oleh para Uskup mempunyai wewenang yang sangat besar dibidang keagamaan[10].
Istilah “The Dark Ages” atau “Zaman Kegelapan sendiri menggambarkan kondisi dan situasi Eropa pada Abad Pertengahan yang mengalami dekadensi intelektual dan ilmu pengetahuan di seluruh bidang. Kegelapan juga dimaknai sebagai tertutupnya intelektual dan rasionalitas manusia oleh dogma agama serta hegemoni Gereja. Etnosentris dan logosentris yang berkembang pesat pada masa Yunani Klasik dan Kekaisaran Romawi berubah secara drastis menjadi theosentris sehingga segala sesuatunya harus berlandaskan pada dogma agama dan Gereja. Semua yang berasal dari agama dan kitab suci adalah yang paling benar, dan selain itu adalah bid’ah. Penggunaan intelektual dan rasionalitas adalah sesuatu yang menyimpang dari agama dan akan merusak keimanan seseorang. Sains dan ilmu pengetahuan harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Sebab, sains dan ilmu pengetahuan mendorong orang mempertanyakan segala hal termasuk tentang kebenaran agama[11].
Situasi kebudayaan seperti ini tidak lepas dari pengaruh “jiwa zaman” pada waktu itu sebagai berikut[12].
1.        Theosentrisme, yaitu pandangan hidup yang berpusat pada Tuhan. Maksudnya bahwa kehidupan manusia itu berpusat pada Tuhan, dan Tuhanlah yang mengatur seluruh hidup manusia baik secara individu maupun kelompok. Dalam hal ini Tuhan juga mengatur seluruh sejarah manusia.
2.        Providensi, yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa segala sesuatu di dunia dan seisinya ini berjalan menurut rencana Tuhan (God Plan). Sengsara merupakan peringatan terhadap manusia. Faktor Tuhan selalu dikaitkan dengan segala hal, demikian juga dengan sejarah selalu dikembalikan kepada Tuhan.
3.        Yenseitigheit, yaitu pandangan hidup yang mementingkan kehidupan di alam baka atau akhirat. Artinya yang terpenting dalam hidup ini adalah untuk mempersiapkan diri demi kehidupan di alam baka.
Pada abad kegelapan, Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir saat itu juga tidak memiliki kebebasan berpikir. Apalagi terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama dan Gereja. Siapapun orang yang mengemukakannya akan mendapat hukuman berat. Pihak Gereja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan rasio terhadap agama. Karena itu kajian terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan pada ketentuan Gereja[13].
Para cendekiawan yang mengeluarkan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan ilmu Gereja dihasut, pandangan mereka dinyatakan kafir, karena dianggap menyalahi peraturan Gereja, darah mereka halal ditumpahkan dan harta mereka boleh dirampas. Tidak kurang dari 300. 000 orang dijatuhi hukuman mati, karena melanggar aturan Gereja, termasuk di antaranya dibakar hidup-hidup. Ilmuwan Bruno Galileo salah seorang yang jadi korban kekejaman seperti itu, gara-gara menyatakan bahwa bumilah yang mengitari matahari, suatu pernyataan yang bertentangan dengan apa yang tercantum dalam Bibel[14].
Berbagai kreativitas sangat diatur oleh Gereja. Dominasi Gereja sangat kuat dalam berbagai aspek kehidupan. Agama Kristen sangat mempengaruhi berbagai kebijakan yang dibuat oleh raja-raja. Berbagai hal diberlakukan demi kepentingan Gereja, tetapi hal-hal yang merugikan Gereja akan mendapat balasan yang sangat kejam. Contohnya, inquisi terhadap Nicolaus Copernicus (1473-1543) karena teori tata suryanya yang menyebutkan bahwa matahari pusat dari galaxi. Lewat penelitian astronomisnya, menghasilkan otoritas astronomi tradisional yang didominasi oleh teori Aristoteles dan Ptolemaeus yang menolak bahwa bumi adalah pusat semesta[15].
Galileo-Galilei (1564-1642) yang berhasil membuktikan kebenaran teori Copernicus lewat teleskop temuannya pada tahun 1610 dicukil matanya karena dianggap menyebarkan teori Heliosentrisme dalam bukunya Dialogo (Dialog mengenai dua sistem utama tentang dunia, 1632 M)[16].
Sikap sewenang-wenang pada masa itu dilakukan demi kepentingan pribadi dan penguasa pada saat itu. Dengan kebodohan umat tersebut, diharapkan tidak akan muncul perlawanan atas kezaliman yang mereka lakukan. Menurut Abul Hasan Ali Nadwi dalam karyanya Islam and the word, bahwa: Para wali Gereja dilanda pelanggaran moral yang mencolok. St. Jerome sendiri mengeluh bahwa perjamuan banyak uskup, diliputi kemewahan ala gubernur provinsi. Jabatan-jabatan Gereja diperoleh dengan tipu daya, kemurahan hati, kelonggaran, izin-izin, pengampunan, pengikutsertaan, dan hak-hak istimewa diperjualbelikan seperti barang dagangan. Paus Innocent VIII menggadaikan mahkota paus. Tentang Leo XI dikatakan bahwa ia telah memboroskan tabungan-tabungan para pendahulunya[17].
Padangan hidup pada masa Renaissance menempatkan manusia pada pusat kejadian, sehingga bertentangan dengan pandangan hidup abad pertengahan yang meletakkan agama (Gereja) sebagai pusat segala-galanya. Renaissance menjujung tinggi kemampuan pribadi manusia, maka sifatnya individualistis dan mementingkan duniawi (kebendaan). Manusia Renaissance membongkar dan menggali hasil-hasil dan nilai-nilai peradaban kebudayaan Yunani dan Romawi Kuno sehingga jaman tersebut dikenal dengan nama zaman kebangunan kembali[18].
Pembahasan tentang Tuhan, Surga, Neraka, dan Malaikat; yang disampaikan dalam teks-teks Kitab keagamaan dipandang sesuatu yang tidak masuk akal, jauh dari kaidah-kaidah ilmiah (dan oleh karena itu tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan). Bahkan, menurut mereka, Agama (dan Tuhan) tidak lebih adalah sekedar hasil pemikiran manusia (masyarakat) dalam merespon gejala-gejala alam. Manusia yang lemah, bodoh dan tertindas membutuhkan sosok individu yang bisa dia sembah untuk menenangkan hatinya. Oleh karena itu, agama hanya tumbuh pada masyarakat-masyarakat yang tertindas dan tak berbudaya[19].
Anggapan bahwa alam ini tak lebih dari sekedar suatu sistem terbatas bagai bidang lingkaran yang berputar mengelilingi bumi atau geosentris yang berkembang pada Abad Pertengahan, kemudian berubah dan menuju faham heliosentris, yang menyatakan bahwa sebenarnya alam ini tidak sebatas itu melainkan jauh lebih luas, dan bumi ini hanyalah salah satu anggota alam secara makro. Karena para cerdik pandai yakin bahwa pemahaman terhadap alam tidaklah semudah dan sesederhana sebagaimana yang terkandung dalam syair-syair Kristiani[20].
Pada masa Renaissance, filsafat skolastik dinilai rendah karena dianggap sebagai campuran antara kebodohan logika dengan dogma-dogma agama. Ajaran kekesatriaan dan etika dinilainya membosankan, semua omongan tentang kebahagiaan hanyalah hiasan bibir, karena pada kenyataannya semua urusan hanya sekadar menguntungkan saudagar-saudagar dan bankir-bankir tamak yang ada di setiap kota di Eropa. Hal dikarenakan pada Abad Pertengahan, terdapat kepentingn-kepentingan individu, baik dalam serikat kerja, Gereja, dalam kelompok sosial, bahkan ke mana saja[21].
Zaman Renaissance lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan kehebatan manusia tercermin dalam ungkapan-ungkapan seni hasil karya manusia. Politik dianggap tidak ada kaitannya dengan iman dan agama, karena politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politik adalah etika kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan keselamatan negara, bangsa, pemerintahan dan kekuasaan[22].
Jika abad pertengahan memegang teguh konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, maka jaman Renaissance menggantinya dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu adalah soal eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif, melainkan eksperimental matematis kalkulatif[23].




[1] Herawati, Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan Dan Kontribusi Bagi Kajian Sejarah Islam, Thaqãfiyyãt, Volume 14, Nomor 2, 2013
[2] Ibid.
[3] Daya Wijaya, Pengantar Sejarah Eropa, 2014
[4] Herawati, op. cit.
[5] Herawati, op. cit.
[6] Herawati, op. cit.
[7] Herawati, op. cit.
[8] Nurcahya, Pengaruh ajaran ibnu rusyd terhadap gerakan renaissance di Eropa awal abad XIV, 2009
[9]Luthfi Assyaukanie, Ibn Sina dan Ibn Rushd Dalam Filsafat Eropa Abad Pertengahan, Makalah Kelas Filsafat, 2016
[10] Nurcahya, op. cit.
[11] Nurcahya, op. cit.
[12] Nurcahya, op. cit.
[13] Tiar Ramon, Perkembangan Filsafat Ilmu Pada Abad Pertengahan (Tinjauan Terhadap Periode Skolastik Kristen Dan Skolastik Islam), 2015
[14] Nurcahya, op. cit.
[15] Saifullah, Renaissance dan Humanisme Sebagai Jembatan Lahirnya Filsafat Modern, Jurnal Ushuluddin Volume. XXII Nomor. 2, 2014
[16] Ibid.
[17] Sri Suyanta, Transformasi Intelektual Islam Ke Barat, Volume X, No. 2, 2011
[18] Nurcahya, op. cit.
[19] Suryadi, Dekontruksi Epistimologi Ilmu-Ilmu Sosial: Sebuah Keniscayaan, 2012
[20] Ajat sudrajat, Peradaban Renaisan Di Italia, 2011
[21] Ibid.
[22] Mujahid Damopolii, Tradisi Pemikiran Ilmiah Renaissance Aufklarung, Serta Zaman Modern, Volume 02, Nomor 2, 2014
[23] Ibid.