Sejarah Berdirinya
PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)
Persatuan Tarbiyah
Islamiyah atau disingkat Perti adalah organisasi tradisional Islam, yang
berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan di suatu
pesantren terkenal di Candung, dekat Bukittinggi, pada tanggal 20 Mei 1930.
Perti merupakan benteng pertahanan golongan tradisional Islam terhadap
penyebaran paham dan gerakan modern yang gencar dilakukan oleh Kaum Muda. Fokus
utama perjuangan Perti adalah memajukan sekolah, dan sebagai pemersatu segenap
ulama tradisional di ranah minang. Namun, dalam perkembangannya organisasi ini
bertransformasi menjadi partai politik pada tahun 1945.
Minangkabau
merupakan wilayah yang terkenal kuat keterkaitannya pada adat, disamping itu
Minangkabau adalah salah satu daerah yang mengalami proses Islamisasi sangat
dalam. Akan tetapi Sulit dipastikan kapan sebenarnya Islam masuk ke daerah ini.
Ada yang mengatakan abad ke-8, abad ke-12 dan bahkan ada juga yang
memperkirakan abad ke-7 karena menurut almanak tiongkok, sudah didapati suatu
kelompok masyarakat Arab di Sumatera Barat pada tahun 674 M.[1]
Islam masuk ke
wilayah Minangkabau secara damai. Sama halnya dengan wilayah Nusantara lainnya,
para penyebar Islam di Minangkabau menggunakan pendekatan persuasif dan
cenderung toleran terhadap tradisi lokal.
Sikap toleran tersebut memberi
kesempatan tumbuhnya akidah masyarakat Minangkabau secara perlahan-lahan.
Berkat metode itu, pada akhir abad ke-18 Islam telah banyak dianut oleh
masyarakat Minangkabau. Banyak dari mereka yang tergabung ke dalam Tarekat
Naqsyabandiyah.
Sejak Islam masuk
ke Minangkabau, telah terjadi beberapa kali pembaharuan. Pada awal abad ke-20
muncul gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau dan terbagi menjadi dua
golongan.
Golongan pertama adalah
kaum tua, yaitu kelompok kaum muslim Minangkabau yang dalam bidang akidah
mengikatkan diri kepada paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ajaran Abu
al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Muslim al-Maturidi, sedangkan dalam bidang ibadah
berpatokan kepada mazhab Syaf’i.
Kelompok
kedua adalah kaum muda, yaitu mereka yang gencar melakukan usaha pemurnian
kembali ajaran Islam, mereka banyak dipengaruhi oleh ulama besar Minangkabau
seperti Haji Miskin, Haji Somanik, Haji Siobang, dan Ahmad Khatib, mereka
menginginkan agama ini bersih dari unsur-unsur yang tidak termasuk dalam ajaran
Islam.
Pada masa tersebut
tarekat telah menyebar luas di Minangkabau, oleh karena itu ulama tua merasa
perlu mempertahankan suasana tersebut. Mereka tidak ingin masyarakat resah,
jika praktik-praktik keagamaan mereka dikecam.
Di sisi lain, ulama-ulama muda
seperti Djamil Djambek dan kawan-kawannya tidak menginginkan pakem tersebut
dipertahankan. Menurut mereka, praktik-praktik tarekat membuat umat Islam beku,
stagnan, dan kehilangan dinamika. Di samping itu, mereka melihat amalan-amalan
tarekat sebagai bid’ah yang perlu diberantas.
Selanjutnya, para kaum muda
secara gencar mulai menyerang kaum ulama tua dengan menggunakan jalur media
massa, tabligh, dan bahkan debat. Di tengah gencarnya pembaharuan yang
dilakukan kaum muda, golongan tua pun juga ikut tergerak mempertahankan aliran
dan mazhab yang mereka amalkan.
Pada tahun 1909,
Haji Abdullah Ahmad dari kalangan muda melakukan terobosan dengan membuka
sekolah Adabiyah di Padang. Sekolah dasar ini memiliki sistem yang sama dengan Hollads
Inladse School, kecuali bahwa di dalamnya agama dan al-Qur’an diajarkan
secara wajib.
Selanjutnya, pada tahun 1911 dan 1913, ia menerbitkan majalah
al-Manar, dan al-Akbar di kota yang sama. Terbitnya dua majalah tersebut,
diikuti terbitnya majalah suara pembaharuan lainnya yang tersebar di beberapa
daerah Minangkabau, seperti al-Ittiqan di Maninjau, al-Bayan
di Parabek, al-Basur di Sungayang, al-Imam di Padang Japang,
dan al-Munirulmanar di Padang Panjang.
Selain media
cetak, kaum muda juga mendirikan beberapa lembaga-lembaga pendidikan. Salah
satu lembaga pendidikannya yang paling berpengaruh adalah Sekolah Thawalib di
Padang Panjang.
Sekolah ini mempunyai karekteristik tersendiri dibanding
sekolah tradisional, di sekolah Thawalib lebih ditekankan pada upaya untuk
memahami Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Sementara di sekolah
kaum tradisional pada umumnya lebih menekankan pelajaran fikih dengan bermacam
fatwa dari berbagai mazhab.
Menyadari
gencarnya kegiatan kaum muda, kaum tua pun mulai bergerak dan mencoba melakukan
serangan balasan dengan cara yang sama. Untuk itu, mereka menerbitkan majalah
Suluh Melayu, sebagai tandingan majalah al-Munir. Suluh Melayu digunakan Kaum
Tua untuk mempertahankan paham mereka, dan menangkis semua serangan yang
dilakukan Kaum Muda melalu media massa.
Kehadiran dua
majalah itu menjadikan Minangkabau semakin terpecah. Majalah al-Munir
dengan tokoh-tokoh utamanya Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Djamil
Djambek melawan Suluh Melayu dengan tokoh-tokohnya seperti Syekh Khatib Ali
Padang, Syekh Saad Mungka, dan Syekh Bayang. Puncak konflik dua kelompok itu
mencapai puncaknya antara tahun 1914 sampai tahun 1918.
Sebagaimana
diketahui di seluruh Indonesia saat ini telah banyak tempat-tempat pendidikan
agama Islam. Di pulau jawa disebut pesantren, dan di Minangkabau disebut Surau.
Di surau sistem pendidikannya sangat sederhana, baik bentuk maupun sistem
belajar mengajarnya, dimana seorang ulama duduk bersimpuh dikelilingi oleh
sejumlah murid-muridnya dan sistem tersebut dinamakan halaqah. [2]
Di lain pihak,
posisi kaum tua semakin tersudut dengan segala upaya yang dilakukan kaum muda.
Kaum muda telah menunjukkan eksistensinya dalam bidang pendidikan melalui
Sekolah Thawalib yang sangat berpengaruh.
Sebagian ulama yang mengelola sistem
pendidikan halaqoh semakin khawatir karena sistem pendidikan yang dipertahankan
dalam bentuk halaqah tidak efektif seiring perkembangan zaman. Dan jika tetap
mempertahankan sistem halaqah maka kemungkinan sebagian murid akan memilih
untuk memasuki sekolah-sekolah pemerintah ataupun Sekolah Thawalib.
Dalam menjawab
tantangan yang sedang dihadapi, para ulama mengadakan rapat-rapat untuk
melakukan perubahan sistem pendidikan. Akan tetapi rapat tersebut belum menghasilkan
kesepakatan karena Syekh Sulaiman Arrosuli belum menerima sistem pendidikan
berkelas dengan berbagai alasan. Yaitu:
1.
Sistem
halaqah sudah dianggap memadai untuk mencetak ulama handal dan mampu
mempertahankan faham Ahlussunnah Wal Jamaah. Dengan perubahan ke sistem kelas
dikhawatirkan akan menurun kualitasnya terutama dalam penguasaan materi agama.
2.
Di
surau, hanya terdapat seorang ulama yang memberikan pengajaran. Dengan sistem
kelas maka sebagian murid tidak dapat belajar langsung dengan ulama.
3.
Dengan
sistem kelas, murid akan diwajibkan membayar uang sekolah dan hal ini sudah
menyimpang dari misi semula yang didasari dengan keikhlasan. Dan ilmu agama
tidak etis diperjual belikan.
Selain itu, Syekh Abbas dan Syekh Machdum telah
mengubah sistem pendidikan halaqah menjadi sistem berkelas seperti Arabiyah
Scool dan Sunniyah School. Kedua ulama ini terus berusaha memberikan penjelasan
kepada Syekh Sulaiman Arrasuli untuk segera menyesuaikan dengan sistem
pendidikan yang telah dikembangkan
melalui surat. Diantara surat yang disampaikan isisnya adalah sebagai
berikut:
1.
Dunia
semakin maju, dimana sekolah telah berdiri dengan sistem administrasi yang
lengkap, jika tidak disesuaikan dengan sistem tersebut dikhawatirkan calon
murid akan meninggalkan kita dan memasuki sekolah pemerintah.
2.
Jika
banyak murid yang memilih sekolah pemerintah, maka seorang ulama tidak mungkin
dapat menghadapinya.
3.
Kalau
memasuki sekolah lain, dikhawatirkan mereka tidak maau menerima pendidikan
agama seperti yang diberikan di surau. Untuk itu pendidikan perlu disesuaikan
dengan kebutuhan zaman.
Akhirnya, Syekh
Sulaiman Arrosuli dapat menyetujui perubahan sistem pendidikan menjadi sistem
kelas. Kemudian untuk menyatukan corak dan sistem pendidikan agama di Sumatera
Barat, Syekh Sulaiman Arrosuli mengundang seluruh pimpinan halaqoh untuk
mengadakan pertemuan pada tanggal 5 Mei 1928 di Cadung. Dalam pertemuan
tersebut disepakati perubahan Halaqah menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
(MTI).[3]
Pada tahun 1930,
mengingat pertumbuhan dan perkembangan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah,
timbullah keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuly untuk menyatukan ulama-ulama kaum
tua, terutama para pengelola madrasah, orangtua murid yang sekolah di Madrasah
dan orang-orang yang mencintai madrasah dalam suatu wadah organisasi.
Untuk
itu, ia mengumpulkan kembali ulama-ulama kaum tua di Candung Bukittinggi pada
tanggal 20 Mei 1930. Pertemuan ini memutuskan untuk membentuk organisasi
Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan PMTI dan dipimpin
langsung oleh Syekh Sulaiman Arrosuli.
Dalam pertemuan ini dihadiri oleh Syekh
Sulaiman Arrosuli, Ssyekh Ahmad, Syekh Muhammad Abbas, Syekh Muhamad Jamil,
Syekh Jalaluddin, Syekh Abdul Madjid dan Syekh Muhammad Alwi.[4]
Setelah tahun
1930, dengan terbentuknya PMTI, gerakannya lebih ditingkatkan lagi dari
mengurus madrasah menjadi mengurus soal kemasyarakatan. Dengan kata lan, PMTI
dari organisasi pendidikan Islam meningkat menjadi organisasi Sosial dan juga
organisasi dakwah Islam karena para syekhnya berdakwah di kampung-kampung.
Sejalan dengan banyaknya madrasah yang didirikan maka muncullah organisasi ini
dimana-mana.
Pada tahun 1935 diadakan rapat
lengkap di Candung Bukittinggi yang menunjuk H. Siradjudin Abbas sebagai ketua
Pengurus Besar PTI. Pada masa kepengurusan ini, berhasil disusun Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga dan disahkan oleh konfrensi tanggal 11-16
Februari 1938 di Bukittinggi, dan disepakati juga singkatan Persatuan Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (PMTI) berubah menjadi PERTI. Ketika itu dirumuskan pula tujuan
organisasi ini, yaitu:
1.
Berusaha
memajukan pendidikan agama dan yang bersangkutan dengan itu.
2.
Menyiarkan
dan mempertahankan agama Islam dari segala serangan.
3.
Memperhatikan
kepentingan ulama-ulama, guru-guru sekolah agama seluruhnya, terutama
sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah.
4.
Memperkukuh
silaturahmi sesama anggota.
5.
Memperkukuh
dan mempekuat ‘adat nan kawi, syara’ nan lazim” dalam setiap negeri
Pada periode berikutnya, terutama pada masa Ekawibawa Bung Karno, dalam mengikuti gagasan NASAKOM telah menimbulkan pro dan kontra dalam tubuh PERTI. Pengelolaan bidang pendidikan, dakwah, dan sosial seolah-olah terabaikan.
Oleh karena itu, pada tahun 1969 Syekh Sulaiman Arrosuli satu-satunya pendiri organisasi ini yang masih hidup mendekritkan agar kembali kepada khittah semula. Yaitu status non politik. Dekrit sesepuhnya itu hanya diterima sebagian saja, yang dipimpin Baharuddin Arrosuli kemudian menyalurkan aspiranya melalui GOLKAR adapun sebagian lagi tetap sebagai anggota partai politik dan ikut dalam pemilihan umum 1971.[5]
[1] Taufik Abdullah, Sejarah
dan Masyarakat, Lintas Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Firdaus) hal. 111-112
[2] Sjarkawi Machudum, Perjuangan
Persatuan Tarbiyah Islmiyah, (Jakarta: Perpustakaan PERTI), Hal 12.
[3] Ibid., Hal 17.
[4] Ibid., Hal 19.
[5] Nelmawarni, dkk, Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Dari Organisasi Sosial Keagamaan ke Partai Politik),
dalam Sosiohumanika 16B, Hal. 53.
Sejarah Berdirinya Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) - Mikuasi Blog >>>>> Download Now
ReplyDelete>>>>> Download Full
Sejarah Berdirinya Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) - Mikuasi Blog >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Sejarah Berdirinya Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) - Mikuasi Blog >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK